Kamis, 11 Februari 2010

SAAT BINAR BINTANG MENGHILANG

SAAT BINAR BINTANG MENGHILANG

HELMY FENISIA

Siang makin tak bersahabat, perutku pun mulai keroncongan. Aku paling benci tugas di proyek seperti sekarang ini, di tempat yang lumayan jauh dari kantorku. Selain panas, aku sering terpaksa membiarkan cacing-cacing di perutku mengamuk. Tugas sebagai teknikal manager dan pengawas lapangan sering membuatku kesulitan dan pusing mencari makan siang. Mau kembali ke rumah, tantu saja tak mungkin mengingat jaraknya yang berkilo-kilo dari tempat tugasku. Ke restoran dekat tempat kerjaku? Bah, bisa bangkrut aku. Apalagi ini akhir bulan. Seharusnya uang di kantongku cukup untuk beberap hari lagi, bisa-bisa ludes dalam sekejap. Lebih baik kuhabiskan bensin mobilku untuk mencari warung terdekat. Aku tak mau terpaksa menguras uang di atm, aku harus rajin menabung untuk masa depan keluargaku. Anak buahku sih enak, mereka bawa bekal dari rumah. Sedang istriku, juga bekerja.

Akhirnya dapat juga warung makanan. Setelah hampir setengah jam aku mencari, senyumku dalam hati. Lumayan ramai warung nasi ini. Selain berada di pusat kota, tempatnya pun lumayan nyaman. Terletak di pinggir jalan, di bawah sebuah pohon besar nan rindang.

“Nasi satu Bu. Pakai sambal ikan.” Aku memesan sepiring nasi berikut lauk ikan. Kemudian berjalan mengambil tempat duduk.

Tak berapa lama, seorang bocah perempuan dengan pakaian kumal muncul dengan kerincingan di tangannya. Dia bernyanyi dari meja yang satu ke meja yang lainnya. Ada beberapa pengunjung memberi sekedar padanya. Mungkin kasihan. Mungkin untuk menghargai suara dan usahanya. Ada juga yang tak peduli. Anehnya, tidak ada kecewa yang terbias di wajah cemongnya meski tak dihargai. Ia berpindah ke meja lain. Tersenyum sebentar lalu mulai bernyanyi.

Bocah perempuan itu berteriak kegirangan saat sepasang muda-mudi memberinya selembar sepuluh ribuan. Aku melihat binar bintang di matanya. Tangan hitamnya yang penuh daki melipat dengan hati-hati lembaran ungu itu. Aku yakin ,seumur-umur baru kali ini ada orang yang memberinya demikian banyak.

“Terima kasih Mas, terima kasih Mbak.”Ucapnya sekali lagi sebelum ia berlalu menuju meja lainnya.

“Sama-sama.” Sahut kedua muda-mudi itu.

Bersamaan dengan datangnya pesananku, bocah itu menghampiriku. Bintang di matanya masih belum hilang.

“Permisi Mas..” Dia berkata sebelum menyuarakan lagu pilihannya untukku.

“Maaf Dik, aku tidak suka mendengarkan lagu saat sedang makan.” Ucapku. Sekejap binar bintang itu meredup.

“Tapi aku suka bila ada yang mengajakku ngobrol saat aku makan.” Sambungku.

“Ngobrollah denganku. Aku akan membayar suaramu. Sama kan?” Bintang itu kembali berbinar.

“Sudah makan?” tanyaku ketika kupersilahkan dia duduk di depanku. Pemilik binar bintang itu diam. Mungkin segan untuk menjawab. Aku yakin, perutnya masih belum terisi siang ini. Aku menghargai keseganannya. Setidaknya, aku menilai dia bukan orang yang suka mengambil kesempatan.

“Pesanlah apa yang kau suka.” Aku berkata kepadanya.

“Tidak Kak.” Tolaknya.

“Sudahlah, tak usah sungkan. Aku yang akan membayar, meski aku tahu kau sedang banyak uang sekarang.”

Pemilik binar bintang itu tersenyum. Dia tahu aku bercanda padanya. Aku memesan sepiring nasi lengkap dengan lauk dan segelas es teh untuknya.

“Siapa namamu?”

“Ratih Kak. Kakak siapa?” Dia balik bertanya.

“Oh, aku Rafa. Lengkapnya Rafael.”

“Masih sekolah?” Ratih, bocah itu mengangguk.

“Kelas tiga SD.”

“Bagus kalau begitu.”

“Apa kamu ngamen setiap hari?” aku bertanya sambil mengunyah makananku. Ratih menggangguk.

“Iya. Habisnya, bapak sudah meninggal. Di rumah tinggal ibu dan dua adik Ratih yang masih kecil,” ceritanya.

“Makanya Ratih harus ngamen buat bayar uang sekolah dan bantu ibu yang cuma bekerja sebagai pembantu.”

“Tapi setahuku, ada mafia yang menaungi kalian. Maksudku, aku pernah mendengar kalau anak-anak jalanan seperti kalian ada yang mengatur. Lalu mengambil hasil jerih payah kalian.”

“Iya. Untungnya Ratih tidak pernah bertemu mereka. Kalau pun harus bertemu dengan orang-orang seperti itu, maka akan Ratih lawan. Enak saja, masa Ratih yang kerja susah payah mereka yang menikmati hasil.”

“Benar kau berani?” Aku menatapnya.

“Tentu saja. Kata bu guru, kita harus mempertahankan hak kita. Kalau kita benar, jangan pernah takut . Selain itu , kewajiban juga tidak boleh dilupakan.” Ucap Ratih serius.

Sepertinya dia anak yang cerdas.

“Kau ranking berapa di sekolah?”

“Ya alhamdulilah Kak, Ratih tiga besar di sekolah. Makanya, bu guru memberikan buku dan seragam sekolah gratis.” Dia tersenyum. Ada bangga yang kubaca di wajahnya.

“Biasanya kau ngamen di mana saja?”

“Kalau jam segini, Ratih ngamen di warung ini. Soalnya kan banyak pengunjungnya. Selain itu, di lampu merah. Di dekat bundaran sana.” Dia menunjuk dengan dagunya bundaran yang tak jauh dari warung ini.

“Tapi kau harus hati-hati. Kau tahu kan bahaya kalau berada di jalanan. “ Aku menasehatinya.

Setelah kami selesai makan, aku membayar semuanya. Lalu menyelipkan beberapa ribu ke tangannya.

“Tidak usahlah Kak. Kan sudah ditraktir makan.” Dia memandangku.

“Kau kan juga sudah menemaniku.” Aku tersenyum.

“Terima kasih Kak.” Mata bintangnya berbinar.

Hari-hari selanjutnya, ketika aku masih harus bertugas di proyek, aku kembali makan di warung itu. Bercengkrama dengan pemilik binar bintang sambil mendengarnya berceloteh tentang sekolah, teman-teman dan keluarganya. Jujur saja, aku tidak tahu mengapa aku senang ngobrol dan memandang binar matanya.

Ratih juga sempat bercerita kalau kemarin dia diminta gurunya untuk ikut lomba nyanyi mewakili sekolahnya bulan depan.

“Baguslah, mana tahu kau bisa menang. Hadiahnya pasti lumayan.” Kataku.

“Kalau menang, aku akan traktir Kak Rafael.”

“Yang benar? Kakak tunggu ya, makanya kamu harus rajin latihan.”

“Tapi Kak Rafael tidak mau mendengar suara Ratih. Apa suara Ratih jelek ya Kak?” tanyanya.

“Tidak. Hanya kakak memang tidak suka diganggu dengan suara nyanyian kalau kakak sedang makan. Kalau makan sambil ngobrol, lebih asyik,” sahutku.

Ini hari keempat kami bertemu. Seperti biasa aku memintanya menemaniku makan sambil ngobrol. Ratih menolak untuk makan siang. Katanya masih kenyang. Aku tak melihat binar bintang di matanya. Binar itu seolah menghilang.

“Ratih , ada apa? Kok lesu, tadi ulangan gagal ya?” aku menggodanya. Aku tahu, bocah tegar in tak akan gagal menghadapi ulangan mengingat dirinya yang ulet. Lagipula, dia bertekad akan selalu menjadi juara kelas demi meringankan beban ibunya.

Ratih menggeleng. Aku melihat memar di wajah kirinya.

“Ratih, kenapa kamu, apa kamu jatuh?” aku memandangnya khawatir sambil memeriksa wajahnya.

“Tadi Ratih bertemu Joni. Kepala preman di bawah jembatan dekat bundaran itu. Katanya mulai hari ini , sebelum pulang Ratih harus setor dulu.”

“Apa kamu tidak melawannya?”

“Sudah, bahkan Ratih gigit tangannya saat tangan Ratih dicekal, tapi Joni kan besar. Dia menampar Ratih. Kalau Ratih tidak setor sejumlah uang yang dia minta, Ratih akan dibunuh.” Bocah itu tertunduk sedih.

Aku benar-benar terenyuh. Aku memeluknya, tak peduli bajuku kotor oleh daki dan debu yang menempel di badannya. Juga pandangan heran orang-orang di sekitar kami.

“Ya sudahlah. Nanti kalau kamu pualng, cari jalan lain saja. Jangan lewat sana. Kalau dia macam-macam lagi, baru kita lapor polisi.” Aku menenangkannya.

Joni brengsek! Aku tidak rela kalau binar di mata Ratih hilang karena dia. Manusia sampah itu harus dienyahkan!

Hari ini waktunya gajian. Aku ke kantor untuk urusan administrasi anak buahku di proyek. Aku yakin, tanpa pengawasanku pun mereka akan bekerja dengan baik. Aku kembali ke proyek sore harinya untuk membagi gaji anak buahku. Besok hari libur, begitu pula dengan lusa. Aku ingin menghabiskannya di rumah bersama Ayesha, isriku tercinta.

Aku dan Ayesha menikah tiga tahun yang lalu. Sampai kini, kami masih belum dikaruniai momongan. Kata orang, mengadopsi anak bisa menjadi pilihan sebagai pemancing agar istri bisa mengandung. Setengah percaya, setengah tidak.

Tiba-tiba aku teringat Ratih. Mungkin aku bisa mengadopsinya sebagai anak atau mengangkatnya sebagai anak asuh. Kupikir kedua hal itu sama saja. Ketika kuutarakan keinginan itu, istriku setuju . Lagipula hampir setiap hari dia mendengar ceritaku tentang Ratih.

“Aku setuju saja Mas. Kapan kita bisa bertemu dengan dia dan keluarganya?” Ayesha sepertinya tak sabar.

“Lihat lusa saja. Aku bicara dulu dengannya apakah dia setuju. Aku harap dia
setuju, apalagi sekarang ada Joni. Aku takut terjadi apa-apa padanya.”Ucapku.

“Ya, lebih cepat lebih baik Mas. Aku juga ingin melihat binar bintang di matanya.” Aku tersenyum memeluk istriku.

Aku mampir di warung Bu Nunik, tempat biasa aku dan Ratih menikmati makan siang sambil ngobrol. Hingga pukul dua belas tiga puluh, Ratih belum juga terlihat. Aneh!

“Bu, lihat Ratih tidak hari ini?” Aku bertanya pada pemilik warung yang sudah mengenal kami.

“Tidak Nak Rafa, ibu juga heran. Tumben hari ini Ratih belum tampak jam segini. Biasanya, jam sebelasan sudah ada.”

Aku menghela nafas panjang. Mendadak aku cemas akan keadaannya.

“Bu, kemarin Ratih datang tidak?”

“Oh, ada.”

“Tapi beberapa hari ini Ratih sepertinya kurang ceria. Sepertinya dia gelisah.” Kisah Bu Nunik.

“Apa terjadi sesuatu ya, Bu?”

“Ya, emboh ya ,Nak. Ibu juga tidak sempat tanya.”

Akhirnya aku kembali ke tempat tugasku. Sesampainya di rumah istriku menyambutku dengan pertanyaan akan persetujuan Ratih.

“Bagaimana Mas, Ratihnya sudah ditanya belum?”

“Belum. Hari ini tidak bertemu dia.”

“Lho..kok?”

Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Jantungku seolah berhenti berdetak ketika mataku menangkap tulisan besar di Koran kriminal yang belum sempat kubaca sejak tadi pagi.

RATIH, PENGAMEN CILIK DEMI MEMPERTAHANKAN HAK TEWAS DIANIAYA

Segera kuraih Koran itu dan kulihat foto Ratih yang terkapar tak berdaya. Binar bintang itu telah meredup. Bahkan menghilang dan pergi untuk selamanya.

“Mas,” panggil istriku saat aku terpekur dengan koran di tanganku.

“Ratih Sa, dia…” aku tak bisa melanjutkan kalimatku. Ayesha meraih koran di tanganku. Istriku belum tahu sebab dia tidak suka membaca berita kriminal.

“Ya Tuhan, kasihan dia.” Ayesha bergumam.

“Aku..aku tak dapat lagi melihat binar matanya , Sa. Aku tak sempat memintanya memanggilku ayah.” Ucapku lirih.

Istriku memelukku. Dia tahu, antara aku dan Ratih telah mempunyai ikatan kuat. Aku sendiri tidak tahu harus menamai apa rasa itu. Aku sayang dia, kagum akan keuletan dan kegigihannya dalam menjalankan hidup.Aku selalu ingin melihat binar bintang di matanya, tapi binar itu telah menghilang sebelum aku sempat melindunginya. Maafkan aku Ratih…


Terbit : Analisa, Rabu

Selasa, 09 Februari 2010

SURAT UNTUK BILLY

By : Helmy Fenisia


Dear Billy,


Fajar menyingsing dan senja pun datang. Silih berganti menemani kita. Tak terasa waktu berputar dan hari pun berganti. Dua belas tahun kita mengenal. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Kupikir,tahun-tahun yang panjang itu dapat membuatku mengenalmu lebih dalam lagi. Kubagi semua rahasia hidupku. Bahkan rahasia hati ini dan kau pun tak pernah ragu membagi dukamu. Lalu kita tertawa bersama, ketika bahagiaku dan bahagiamu melanda.

Kugiring waktu untuk melupakan masa lalu, membuang cinta pertama yang gagal. Mengulurkan tangan menyambut mimpi baru yang kau beri. Rasanya aneh, karena harus mengubah persahabatan menjadi sesuatu yang lebih. Begitu pun, harus kuakui kalau mimpi yang kau tawarkan menggangguku. Aku tak ingin terpuruk pada masa lalu.

Kau bahagia, saat aku mengatakan aku menerima dirimu. Lalu kau ajak aku membangun mimpi dengan warna-warni pelangi. Mimpi itu kita isi dengan harap. Menyemai cinta di halaman hati kita.

Kau membuatku bahagia, terbang tinggi di cakrawala biru. Mimpi kita pun semakin indah. Cintamu begitu sempurna bagiku. Hingga membuatku lupa akan kisah sedihku yang lalu.

Janjimu, kau tak akan membuatku terluka. Tak akan meninggalkan aku seperti yang dilakukan papa dan aku percaya. Bagiku, kau adalah sahabat, kekasih dan pengganti sosok papa yang kurindu. Darimu, kutemukan banyak pelajaran tentang hidup. Tentang perjuangan, dan
“Menikahlah denganku.” Satu kalimat yang seumur hidup baru kudengar dari bibir pria yang kucinta. Darimu, Billy. Aku harus menjawab apa? Dalam bingung kau kembali bertanya.

“Jujur, aku tak tahu harus menjawab apa. “ Ujarku waktu itu. “Aku belum siap.”

“Tapi kau harus siap, karena hanya kau yang kuingin dalam hidupku.” Wajahku memerah . Hanya menunduk diam. Berusaha mengurai rasa yang ada di hati.

“Kirana, menikahlah denganku.” Sekali lagi kau mendesakku. “Dulu, aku pernah mengatakan tak percaya cinta sejati, tapi aku mendapatkan cinta itu darimu. Bahkan lebih dari yang pernah kupikirkan.”

Benarkah? Aku tak percaya, tapi kutemukan kejujuran dari nada bicaramu. Bagaimanakah aku dapat menolak, aku juga mencintaimu. Bahkan lebih dari yang pernah kurasakan.

Waktu itu, lima tahun yang lalu. Kita lalui waktu dengan bunga-bunga. Tiga tahun. Lalu semuanya berubah dengan tiba-tiba. Ketika kau kembali ke negaramu Philipina, kau bawa serta mimpimu, tapi kau tinggalkan aku sendiri dalam sepi dan tak pasti. Berakhir sudahkah cerita?

Kau semakin menjauh dariku. Bahkan seolah tak peduli. Hingga aku lelah menanti. Kukuatkan diriku menghadapi semua yang mungkin terjadi, tapi kau beri aku harap. Menyisakan secuil mimpi. Kau hadir dan pergi dari hidupku, seperti hembusan angin.

Kau bilang, letih sudah kau membangun mimpi, karena kita hidup di dunia nyata. Tak ada daya untuk membuatnya sempurna. Billy, pernahkah aku menuntutmu membuat mimpi itu sempurna? Aku hanya butuh dirimu. Butuh hadirmu, namun itu pun tak sanggup kau lakukan untukku. Lalu ke mana janjimu? Kini, kau pun seperti papa. Menjauh dan akhirnya meninggalkan aku.

Dua tahun ini, kau tak lagi sama. Bahkan kita seperti dua orang asing yang baru kenal. Ke manakah Billy yang pernah membangunkan mimpi-mimpi untukku? Ke manakah Billy yang menemaniku kala sedih dan sepiku? Ke manakah Billy, yang padanya kudendangkan tawa dan berbagi canda?

Kau memintaku untuk melupakanmu, kau bilang tak bisa membuatku bahagia. Semudah itukah cinta menyerah? Semudah itukah menghapus kisah?

“Maafkan aku menghancurkan mimpi yang pernah kita bangun bersama, tapi aku tak dapat lagi kembali ke negaramu. Aku tak memiliki apa pun lagi di sini. ” Hanya itukah yang mampu kau katakan? Apa yang pernah kutuntut untuk kau beri untukku?

“Aku menyayangimu. Merindukanmu, namun aku telah kehilangan segalanya. Sudah tiga kali dalam dua tahun ini Mama terserang stroke dan bolak – balik di rawat di rumah sakit . Aku dan saudara-saudaraku telah menghabiskan banyak dana untuk itu. “ Hanya itukah alasannya?

“Kirana, carilah seseorang yang lebih baik dariku. Aku tak mampu membahagiakanmu. Aku kalah, dan aku tak mau membawamu dalam kekalahanku dalam hidup ini. Sejujurnya, aku tak pernah merasa bahagia seumur hidupku. Sampai aku bertemu kamu. “

“Lalu, mengapa harus memintaku berpaling? “ desakku dalam tangis.
“Karena aku tak ingin membuatmu menunggu dalam kesia-siaan. “ Hanya itukah alasanmu?

Beberapa hari yang lalu, aku dikejutkan sebuah surat elektronik yang kau kirim untukku. Sejak mengenalmu, hanya ada dua email yang kau kirim. Ucapmu di sana, kau memohon maaf untuk mimpi yang terenggut oleh waktu. Cinta, mimpi dan harap yang pernah ada dalam kisah kita merupakan suatu keajaiban yang pernah kau rasa. Tapi mimpi itu terenggut oleh waktu, oleh jarak dan oleh keadaan. Penyakit mamamu yang tak kunjung sembuh, tapi kehadiran seorang Ivy mampu mengusir galau hatimu kala kau lihat mamamu yang tak berdaya di ruang berwarna putih itu.

Billy, akhirnya kau akui kalau kau tak mampu mempertahankan sunyi hatimu. Selama dua belas tahun, tidak cukupkah aku memenuhi ruang hatimu? Hingga kau merasa kosong saat aku jauh? Aku harus bilang apa kalau kau tergoda. Aku, ternyata belum mengenalmu menyeluruh. Hingga aku tak mampu mengerti sunyi hatimu. Aku tak bisa menempati penuh ruang hatimu. Ataukah memang telah kau tinggalkan bayangku hingga ada ruang yang kau sediakan bagi yang lain?

Kini harus kuakui kalau ternyata aku tidak terlalu mengenalmu. Begitu banyak hal yang kau simpan sejak kembali ke negaramu. Ketika kau merasa aku siap, kau beritahu kalau kau dan Ivy kini telah menjadi satu daging. Billy, masih adakah kejutan-kejutan lain yang lebih menyakitkan dari ini? Mengapa kau katakan padaku, kalau kau tahu itu menyakitiku. Bukankah lebih baik kalau kau menghilang dari hidupku seperti komitmen kita dulu ketika kau memintaku mencari pengganti dirimu.

Billy, sejujurnya aku ingin membencimu karena cinta yang terenggut oleh waktu. Pengkhianatan yang melukaiku. Kau biarkan aku terhempas dalam mimpi yang kau bangun. Membiarkan aku terkubur dalam kuntum-kuntum bunga yang layu. Sedang di sana, kau tengah melukis mimpi lain untuk seorang yang lebih dekat denganmu.

Harusnya aku juga membenci Ivy, yang merebutmu dari sisiku, tapi bukan salahnya dia ada untukmu. Kau yang terlalu lemah. Dalam kesunyian tak bisa kau pertahankan bayangku. Hingga kau biarkan aku pergi dan kau beri ruang baginya. Cinta yang dulu kau beri hanya untukku kini telah kau ambil kembali. Billy, kau tahu betapa aku ingin membencimu? tapi kenangan dan cinta mengalahkan semua. Kini aku kembali terluka oleh kenangan. Bagaimana lagi ‘kan kutata keping hatiku?

Terbit : Analisa, Minggu

WI, AKHIRNYA AKU BISA JATUH CINTA LAGI

WI, AKHIRNYA AKU BISA JATUH CINTA LAGI
By : Helmy Fenisia


Dear Wi,

Akhirnya aku bisa jatuh cinta lagi. Setelah hampir tiga belas tahun kubiarkan hatiku menunggumu dalam kesia-siaan, dan kini dia datang dengan segala perhatian dan pengorbanan yang tak mampu kutolak meski kadang hati ini masih dipenuhi oleh angan dan harap tentangmu.

Semula, aku pikir aku tak akan jatuh cinta lagi. Karena selama tig belas tahun ini hanya ada namamu di hatiku. Bahkan aku tak mampu membuka hatiku untuk yang lain. Dia, yang kini ada semula hanyalah sahabat bagiku. Tempat aku membagi suka dan dukaku. Tempat aku menceritakan tentang rinduku padamu. Tempat aku membagi kesedihan dan kesepian dan penantian yang panjang akan dirimu.

Aku bahkan tak mampu menghapus namamu dari hatiku, atau membiarkan kenangan tentang dirimu menjauh dari pikiranku. Pernah mencoba , namun aku tersiksa karena nyata aku tak mampu untuk menghapus dirimu dalam hidupku. Bagiku, melupakanmu sama dengan mengkhianatimu. Bodohnya aku, begitu kata teman-temanku. Mengharapkan dirimu yang telah jauh, bahkan tak tahu apakah namaku masih ada dalam hatimu. Apakah pernah terlintas sekejap kenangan tentangku dalam ruang pikirmu.

Wi, entah mengapa setiap memikirkan dirimu selalu membuat air mataku jatuh. Seakan ada sayatan pisau yang membuat hatiku kembali terluka. Namun selalu saja aku tetap ingin mengingatmu. Memikirkan dirimu yang telah jauh dan tak tahu ada di mana. Pernah bertekad dalam hati, menyimpan namamu di sudut ruang hatiku yang paling dalam dan tak akan pernah lagi menyebut namamu. Namun entah mengapa , kini kembali mengusikku.

Wi, kamu tahu, dia yang kini ada selalu berusaha membahagiakan aku dengan segala perhatian dan cintanya yang begitu besar, agar aku dapat melupakanmu dan meniti masa depan tanpa bayang masa laluku. Ia juga rela berkorban untuk dapat masuk dalam ruang hatiku yang penuh namamu. Baginya, meski hanya sedikit asal aku bisa belajar mencintainya itu sudah cukup.

Ia telah memberikan perasaannya padaku jauh sebelum aku menyadarinya. Dengan sabar menungguku untuk melupakanmu, dengan menekan segala kecemburuan dan perasaan sakit yang ada, selalu menjadi pendengar ketika aku cerita tentang perasaanku padamu. Menghiburku kala aku sedih dan terluka oleh kenanganmu yang tak mau menjauh meski hatinya pun terluka olehku.

Dan ketika hatinya mulai terusik oleh penantian dan rasa lelah, ia datang dan menyatakan perasaannya padaku. Aku, saat itu tak dapat menerimanya meski pun ia telah empat tahun menunggu hatiku berubah. Bagiku tidak ada yang lain hanya dirimu. Yang kuinginkan hanya kamu walau entah sampai kapan aku harus menunggu. Aku dapat menangkap kekecewaannya. Beban berat yang telah kuberikan padanya melalui semua cerita tentang dirimu seakan bertambah berat dengan penolakanku. Aku, tak dapat menerimanya. Tak ingin berpura-pura mencintainya.

Namun Wi, ia tak pernah jauh dariku. Masih dengan ketulusan yang semula ia terus mencintaiku dan menemaniku dalam kesendirianku yang menanti dirimu. Hingga suatu saat ia menghilang dari hidupku dan Wi, saat itulah aku tahu arti dirinya bagiku.

Ia bukan sekedar sahabat, tetapi nafas hidupku yang memberiku kelegaan saat aku memerlukan orang untuk berbagi. Aku baru menyadari kalau dia begitu penting bagiku dan aku tak sanggup kehilangan dirinya. Perhatian dan cintanya yang tulus selama ini entah mengapa tak pernah kusadari hingga akhirnya ia pergi dari sisiku.

Tapi Wi, kini ia kembali. Setelah aku sanggup menata keping hatiku yang hancur oleh perpisahan kita dan memberikan ruang kosong untuknya di hatiku. “Aku terus mencintaimu, walau aku jauh. Dan menyimpan dirimu erat dalam hatiku.” Kata-kata yang membuatku terharu.

Wi, haruskah kuhalau rasa yang kupunya demi kamu yang telah jauh? Aku tak mau kehilangan dirinya untuk yang kedua kali. Sejauh mana pun dirinya, aku tahu dia tetap mencintaiku. Walau hatinya tahu kalau perasaanku padanya tidak utuh. Tapi Wi, asal aku mau belajar mencintainya, menyelipkan namanya di antara namamu di hatiku, ia sudah bahagia.

Wi, saat ini aku berharap namamu, bayanganmu bahkan segala kenangan indah yang pernah kau tinggalkan untukku dapat dibawa pergi dari hatiku. Membiarkan aku melupakan segalanya tentang dirimu. Dan memberikan aku kesempatan untuk mencintai orang lain, meniti masa depan yang menantiku.

Wi, saat ini aku bahagia karena bisa jatuh cinta lagi. Hal yang sudah tiga belas tahun lebih tak kurasakan sejak kau pergi dari hidupku. Wi, doakan kebahagiaanku ya. Seperti aku selalu mendoakan kebahagiaanmu.


Published by : Analisa, Minggu

INSPIRASI YANG HILANG

INSPIRASI YANG HILANG
HELMY FENISIA

Sudah beberapa kali aku mengetik dan berulang kalipula menekan tombol delete pada keyboard di computerku. Otakku benar-benar mampet. Sama sekali tak ada ide apalagi mood untuk membuat cerita. Sedari tadi sudah hampir seharian aku berada di depan computer, ditemani sebungkus rokok yang entah sudah berapa batang isinya kuhabiskan. Namun tidak juga ada ide yang menempel di otakku. Inspirasiku benar-benar hilang!

Karena capek dan bosan, akhirnya aku beranjak dari computerku. Duduk di dekat jendela kamarku yang berada di lantai dua. Dari atas, kulihat seorang wanita dengan pakaian kumal tengah mengais-ngais bak sampah yang lumayan besar, di depan rumah Pak Andrian yang tak jauh dari rumahku. Sementara anak-anak mengelilinginya dari jauh sambil mengejek, bahkan ada yang melemparinya. Sungguh keterlaluan, padahal ia tak mengganggu mereka.

Aku berjalan ke balkon. Dari sana aku bisa lebih jelas melihat dan mengawasi mereka bila terjadi sesuatu hal. Meski dengan rambut yang acak-acakkan dan wajah yang cemong penuh debu, aku dapat melihat garis kecantikan yang ada padanya. Hidung yang mancung dan mata yang bulat, serta bibIr yang kecil, bila tubuh kotor itu dibersihkan aku yakin semua yang melihatnya akan memandangnya kagum. Apalagi tubuhnya termasuk proposional.

Entah sudah berapa lama ia menggelandang seperti ini.
Aku juga penasaran bagaimana wanita muda itu bisa seperti ini. Apakah ia wanita desa yang datang ke kota yang tidak mempunyai kemampuan apapun dan tak ada seorang pun yang mau membantunya hingga membuatnya menjadi seperti ini. Ataukah ia malah korban dari kekejaman hidup ini, entahlah. Tapi aku dapat membayangkan seandainya wanita itu memakai gaun indah dan diberi dandanan sedikit pasti semua mata akan melirik karena terpesona oleh kecantikannya. Bagaimana tidak, bahkan dalam kekumalannya pun aku masih bisa menangkap gurat kecantikan yang terpancar. Sayang, nasibnya tak sebagus wajah yang ia miliki.

“Hoi, orang gila..orang gila…”suara anak-anak mengejeknya.

Hatiku tersentuh melihat wanita muda gelandangan itu, ia merapatkan tubuhnya di dekat bak sampak pak Andrian saat anak-anak mengejek dan melemparinya. Buru-buru aku meloncat turun dari balkon yang tak begitu tinggi dan berjalan ke luar.

Wajah cemong itu terlihat begitu memelas dan ketakutan. Inginnya aku memeluk dan menenangkannya. Tapi apa kata dunia nanti. Aku akan ditertawakan orang-orang sekampungku, dan terutama lagi aku akan diputuskan oleh Anggi kekasih tercintaku. Akhirnya aku hanya bisa menghalau anak-anak itu untuk menjauh.
“Hei, awas kalau kalian mengganggunya lagi.” Ancamku. Anak-anak itu berhamburan sambil berlari, namun ada juga yang masih berdiri di kejauhan sambil memperhatikan apa yang akan kulakukan.

Saat aku berjalan mendekat, kulihat wanita itu semakin menciutkan tubuhnya dan ketakutan memandangku. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya yang hitam penuh dengan daki itu.
Aku merogoh saku celanaku sambil mengeluarkan beberapa ribu perak, meski tidak bisa membantu banyak tapi setidaknya bisa dipakai untuk membeli makanan yang layak dimakan olehnya, begitu pikirku.

Kusentuh tangannya yang kotor tapi dia malah meronta hingga membuatku kaget.
“Ng, tenang,” ucapku agak bergetar, ”aku nggak akan mengganggumu,” kataku meyakinkan dirinya.
“Aku hanya ingin memberikan beberapa ribu ini, pakailah untuk membeli makanan.” Aku menyerahkan uang itu padanya. Untuk beberapa menit ia memandangku seakan tak percaya, namun akhirnya ia meraih uang itu dari tanganku lalu berlari meninggalkan aku.

Aku menarik nafas panjang, entah kenapa tadi ia meronta padahal aku hanya menyentuh tangannya. Tapi hei, mengapa aku merasa kalau sesuatu yang tak enak pernah terjadi padanya. Apakah mungkin ia pernah diganggu oleh lelaki lain atau bahkan mungkin diperkosa hingga membuatnya trauma. Entahlah, kurasa aku tak perlu mereka-reka atau menebak apa yang pernah terjadi padanya. Lagipula ia bukan siapa-siapa bagiku. Yang harus kulakukan adalah menyelesaikan tugasku membuat cerita, jika tidak bos-ku yang cerewet itu akan berteriak padaku, padahal hari ini adalah dead line bagiku.

Huuh, aku membuang nafas sambil kembali duduk di depan computerku. Sekejap kuisap rokokku dalam-dalam sambil berharap ada ide yang muncul di otakku. Dan tiba-tiba aku mendapatkannya. Ya, aku akan menulis tentang wanita gelandangan itu. Ya, mengapa tidak, lagipula tak ada salahnya menjadikan dia sebagai tokoh ceritaku. Tinggal diberi sedikit bumbu di sana sini sambil membayangkan suatu saat nanti ada orang yang berbaik hati menolongnya dan menjadikan dia sebagai bidadari, siapa tahu…Ah, ternyata wanita gelandangan itu secara tak sengaja telah memberiku inspirasi

TERBIT DI ANALISA RABU

Senin, 08 Februari 2010

VILLA TERPENCIL - HOROR STORY

VILLA TERPENCIL
by : HELMY FENISIA

Gempita musik keras yang diputar di mobil yang dibawa Boy perlahan dimatikan. Sementara mata teman-temannya menatap kagum pada villa yang berdiri megah di depan mereka.

“Waww, keren oi,” seru Rani sambil meloncat turun.

“Iya tuh, hebat lu Boy bisa dapetin tempat oke kayak gini, mana biaya sewanya murah lagi.” Sony menepuk bahu sahabatnya. Boy tersenyum bangga, memang dia sudah mensurvei beberapa villa yang akan mereka sewa dan hanya ini yang pas untuk kantong mereka. Apalagi ini adalah villa yang paling megah dan bagus dari beberapa villa yang dilihatnya.

“Tapi kok kayaknya beda banget ya sama villa-villa yang pernah gue datangi. Kayaknya villa ini terpencil banget, mana di sekelilingnya cuma ada bukit-bukit,” ucap Shera. Perasaannya sedikit tidak enak saat memandang sekeliling villa.

“Ah elo, gini kan lebih bagus, kita mau ngapain nggak ada yang complain atau marah-marah. Kita di sini kan mau pesta semalaman, betul kan teman-teman?”

“Yap, gue setuju sama ucapan Boy,” bilang Sony. “Sudahlah nggak usah dipikirin. Lebih baik kita masuk sekarang, udara makin dingin di luar sini.”

Boy bersiul kecil sambil membuka pintu villa. Mata mereka terbelalak melihat bagian dalam villa itu. Bagunannya merupakan perpaduan gaya modern dan klasik.
Pintu utama terbuat dari kayu jati asli, begitu pula dengan pegangan pada tangga. Pun beberapa perabot seperti kursi besar di ruang tamu, dan mejanya yang berbentuk antik. Tapi di sudut lain dari ruang tamu di beri sentuhan modern dengan sebuah sofa berwarna gading dan meja dengan kaki yang terbuat dari besi berwarna emas. Dan sebuah lampu berdiri yang lumayan tinggi dengan sinarnya yang agak redup.Benar-benar hebat, Sandra yang sejak tadi memperhatikan ruangan berdecak kagum.

Ruang santai yang dibatasi dengan beberapa anak tangga juga tak kalah menariknya. Seperangkat audio mewah seakan menyambut mereka. Sofa berwarna pastel yang seirama dengan warna dindingnya seolah mengoda mereka untuk merasakan keempukan kursi yang pasti berharga mahal itu. Buffet tempat televisi dan perangkat audio lagi-lagi merupakan kayu jati yang dirancang khusus. Rani dan Shera berlomba menduduki sofa empuk itu sambil berteriak kegirangan seolah mendapat permen yang sudah lama tak mereka dapatkan.

“Wah, kalo begini sebulan nggak pulang juga nggak papa deh.” Teriak Shera senang.

“Ah elu, tadi takut!” ejek Rani. Yang lain ikut tertawa.

Di belakang sofa ada sebuah lukisan yang menarik perhatian Sandra. Lukisan itu lumayan besar tergantung di atas sebuah meja dengan kaki besi berwarna emas. Sandra memperhatikan lukisan di depannya. Lukisan itu menggambarkan beberapa anak muda yang sedang mengadakan pesta minum-minuman keras seperti halnya rencana mereka . Tapi Sandra bergidik saat matanya menangkap sesosok wanita yang berdiri di ujung meja bartender yang agak gelap. Hampir tak terlihat karena berada di kegelapan. Wanita itu memakai gaun merah tengah memandangnya dengan pandangan dingin yang membuat bulu romanya berdiri. Apalagi saat dilihatnya tangan gadis itu yang memegang gelas anggur dengan darah yang mengalir di lengannya.

“Harusnya ada lampu hologram yang meneranginya,” suara Bimo mengejutkannya. “Hei, kurasa suasana di lukisan ini akan mirip dengan kita nanti.” Sambung Bimo lagi dengan semangat. “Kebetulan sekali.”

“Kurasa pemilik villa ini juga sering mengadakan pesta di sini.” Rani mengambil kesimpulan.

“Lho, lu kenapa sih San, kayak orang takut begitu?” tanya Bimo sambil memandang wajah gadis itu.

“Ah nggak, hanya terkejut tiba-tiba lu ada di belakang gue…” Sandra semakin terkejut dan takut takala matanya tidak lagi menangkap sosok gadis berbaju merah di dalam lukisan itu.

“San, sebenarnya elu kenapa ?” Bimo kembali bertanya padanya saat dilihatnya Sandra terpaku dengan wajah pucat.

“Mungkin kecapekan kali,” tebak Rani.

Bimo membawa Sandra duduk di sofa, lalu memberinya segelas air.

“Bim, kurasa tempat ini gak bagus buat kita,” ucap Sandra setelah agak sedikit tenang. Perasaan takut dan tak enak mulai mengganggunya.

“Gile, tempat segini bagus lu bilang gak bagus. Gimana sih?” sahut Boy.

“Iya nih, kenapa sih kamu San, kesambet ya?” goda Shera.

Melihat teman-temannya mengejek akhirnya Sandra hanya pasrah. Sekali lagi dipandanginya lukisan di dinding itu. Masih seperti yang terakhir kali dilihatnya. Apakah hanya perasaanku saja, atau mungkin mataku yang salah lihat, tanya Sandra dalam hati. Akhirnya ia melupakan kejadian tadi setelah Boy memasang perangkat audio yang ada di ruang santai itu. House music yang hingar-bingar menjadi teman mereka malam itu.

“Cuit-cuit, ini baru pesta,” Boy bersiul saat Sony mengeluarkan dua botol wisky dari tas ranselnya.

“Tau nggak, mami gue kira di ransel ini diktat kuliah semua,” cerita Sony sambil tertawa.

“Wah, kejam banget lu Son. Mami sendiri lu tipu.” Teman-temannya tertawa.

“Ok guys, lets start the party…” Boy yang sudah tak sabar segera menuangkan wisky untuk teman-temannya. Bimo yang semula duduk sambil menikmati minumannya kini berdiri sambil menari. Erotis sekali gayanya hingga teman-temannya yang melihat tertawa. Shera juga tak mau kalah, dia juga mengikuti gaya Bimo.

“Wow, ini baru ok..” teriak Boy sambil menambah minuman pada gelasnya. Dipeluknya Rani yang duduk di sampingnya. Gadis itu sudah setengah mabuk, Boy yang melihat gadisnya yang setengah teller langsung memasukkan sebutir obat di gelas Rani. Boy meminumkannya pada Rani. Gadis itu tertawa-tawa sambil entah nyerocos apa. Dan tak lama kemudian di rasakannya sekujur tubuhnya terasa panas. Dilepaskannya baju atas yang dipakainya. Tubuhnya yang putih langsung dicium oleh Boy dengan semangat. Sedang Rani hanya bisa menggeliat.

Sony yang sibuk dengan shabu-shabunya menawarkan obat itu pada Sandra. Gadis itu langsung menerimanya, sudah lama juga ia tak menyentuh obat itu. Tak ada salahnya ia mencicipinya sekarang, lagipula ia ingin melupakan kejadian tadi. Bukankah saatnya untuk bersenang-senang?

Bimo dan Shera masih asyik dengan goyangnya, kali ini lebih erotis karena Shera sudah ada dalam pelukan Bimo. Sedang Boy dan Rani sudah ada di kamar dingin yang ber-AC.

Setengah mabuk oleh pengaruh obat dan minuman Sony berjalan ke kamar mandi. Tapi setelah sekian lama ia masih tak kembali. Sandra yang heran akhirnya mencari Sony di kamar mandi di dekat dapur. Tidak ada, entah di mana cowok itu. Sandra mencarinya di kamar tidur utama, ternyata di sana hanya ada Boy yang tengah bermesraan dengan Rani. Sandra mencari ke ruang lain. Akhirnya dengan tubuh yang terasa melayang karena pengaruh obat Sandra sampai juga di lantai atas.

“AHHHHHHHHHH!”suara Sandra terdengar hingga ke bawah. Gadis itu berlari turun dengan wajah ketakutan.

“Sony…Sony…dia…” Sandra tak dapat meneruskan ucapannya. Seluruh tubuhnya gemetar.

“Ada apa San, mana Sony?” tanya Bimo.

“San?” Shera memegang bahu sahabatnya. Gadis itu sepertinya terguncang. Sandra hanya bisa menangis .

“Ada apa ini?” Boy keluar dengan tubuh telanjang dada.

“Mana Sony?”

“Entahlah, tadi Sandra berteriak , kurasa terjadi sesuatu dengan Sony.” Ucap Bimo.

“Sandra, katakan apa yang terjadi dengan Sony.” Boy mengguncang bahu Sandra.

“Sony…Sony meninggal.” Sandra berkata sambil menangis.

“Ada pembunuh di sini, kita harus pulang.” Sandra kembali berucap sambil menatap teman-temannya. Ketiganya saling memandang.

“Katakan di mana Sony sekarang?” Boy bertanya.

“Di lantai dua, kamar paling ujung.”

Serentak Boy dan Bimo naik, sedang Shera menemani Sandra.Kondisi Sony mengenaskan. Ia terkapar di lantai kamar mandi dengan kedua lengannya seperti tersayat benda tajam, begitu pula dengan lehernya yang hampir putus. Di mulutnya keluar busa. Sedang hidungnya mengeluarkan darah. Boy memandang Bimo.

“Pasti ada seseorang yang membunuhnya.” Boy berkesimpulan.

“Siapa yang terakhir bersamanya?” tanya Boy.

“Sandra, siapa lagi. Aku ada di ruang santai bersama Shera sejak tadi.” Jawab Bimo.

”Tapi, apa mungkin dia?” ucapnya ragu.

“Entahlah, tapi tidak ada yang lain selain kita berenam. Rani ada bersamaku di kamar waktu kejadian.”

Keduanya turun dan kembali ke tempat semula. Bimo memandang Boy menunggu temannya itu berbicara.

“Seseorang telah membunuhnya,” ucap Boy.

“Tapi..tapi siapa ? bukankah kalian bilang tidak ada orang lain selain kita di sini?” Shera berucap dengan nada cemas.

“Benar, aku bisa jamin hanya kita yang ada di sini “ Boy menatap Sandra tajam.

“Jangan bilang Sandra yang melakukannya.” Ucap Shera sambil berdiri menjauh dari Sandra.

“Bukan aku…aku sumpah bukan aku.” Kata Sandra dengan wajah yang masih basah oleh air mata.

“Tapi kau yang terakhir bersamanya, San,” ucap Bimo.

“Tapi bukan aku Bim!” Sandra berteriak.

“Kalau bukan kau lalu siapa, tidak ada orang lain kan? Kalian lihat sendiri kalau villa ini jauh dari villa-villa lain. Dan penjaga villa ini sudah menghilang di balik bukit sejak kita datang tadi.” Suara Boy meninggi.

“Sudahlah, lebih baik kita tunggu sampai pagi. Kurasa ada baiknya kalau kita mengecek sebentar villa ini Boy,” ucap Bimo.

“Baiklah.”

Agak ragu juga Shera tetap berada di dekat sahabatnya itu mengingat apa yang di katakan Boy tadi. Sandra yang membunuh Sony, bukanlah dia tidak ada alibi sama sekali karena memang hanya Sandra yang terakhir bersama Sony.

Bimo memeriksa halaman belakang villa dan lantai satu. Sedang Bimo memeriksa halaman depan dan lantai atas.

“Tak ada yang mencurigakan.” Bilang Boy.

“Sudahlah, lebih baik kita istirahat saja dulu. “ Bimo menenangkan suasana.

“Aku…aku denganmu saja Bim,” Shera mengikut langkah Bimo. Lelaki itu memandang Sandra kasihan.

“Kita tidur bertiga saja. Tadi kulihat di kamar tengah ada tempat tidur dan juga sofa. Kalian bisa tidur di tempat tidur dan aku di sofa.”

“Tapi Bim..” Ragu Shera memandangnya. Bimo tahu maksudnya.

“Tak mungkin ia mempunyai keberanian dan kekuatan untuk membunuh kita berdua.” Ucapnya.

“Rani…Rani menghilang.” Boy kembali ke ruang santai dengan panik. Bimo dan Shera saling pandang. Gadis itu semakin ketakutan.

“Pasti ada yang tak beres di villa ini.” Bimo mulai merasakannya. “Ayo kita cari. Jangan ada yang berpencar.”

Semua mencari, bahkan sampai jauh ke halaman belakang villa yang tak jauh dari bukit. Masih tetap tak ada meski berkali-kali mereka memanggil Rani tapi masih juga tidak ada sahutan.

“Kurasa dia hanya keluar sebentar untuk ke kamar kecil. Kita kembali saja sekarang.” Ucap Bimo akhirnya.

“Tapi aku sudah mencarinya di kamar mandi!” Kata Boy.

“Mungkin tadi dia mencarimu di ruangan lain.” Bimo berusaha berpikir positif. Tak enak menambah rasa takut teman-temannya. Meski dalam hati dia pun mencemaskan Rani.

“Rani…itu Rani.” Segera Boy berlari saat dilihatnya Rani yang duduk di teras dengan sikap tertidur. Tanpa memakai baju atasan.

“Rani…” Boy berteriak histeris saat dilihatnya lengan gadis itu telah tersayat benda tajam. Begitu pula dengan tubuh bagian atasnya.

“Sepertinya memang ada orang lain di sini.” Bimo berkata sambil matanya menatap pada kejauhan malam. Suara binatang malam terdengar di kejauhan. Sementara Boy masih meratapi kekasihnya.

“Bim, kurasa lebih baik kita masuk sekarang.” Shera berkata sambil menggigil . Udara dingin di luar dan kegelapan yang berada di depan mereka membuatnya kedinginan dan takut.

“Kita berkumpul saja di ruangan tadi.” Ucap Bimo.

“Boy..sudahlah Boy sekarang bukan saatnya untuk meratap. Pikirkan apa yang harus kita lakukan.” Bimo menarik tangan sahabatnya untuk masuk.

“Kurasa lebih baik kita pergi dari sini.” Sandra berkata sambil memandang Bimo.

“Tidak, aku tak mau membiarkan Rani sendirian.” Boy berkeras.

“Tapi Boy, ada pembunuh di sekitar sini.” Ucap Shera yang setuju usul Sandra.

“Tidak, aku tak akan pergi . Tak mungkin aku meninggalkan Rani sendiri. Pokoknya tidak.”

“Baiklah. Baiklah, kita tetap di sini. Harus ada yang berjaga-jaga jangan sampai tertidur. Kurasa ada yang tidak suka dengan kehadiran kita di sini, jadi kita perlu hati-hati.” Bimo mengingatkan.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. Semua sudah mengantuk namun tak ada satupun yang berani memejamkan matanya. Sandra yang kebelet pipis pun tak berani beranjak dari tempatnya.

“Aku..aku ingin ke belakang.” Akhirnya ia sudah tak bisa menahannya.

“Aku akan menemanimu.”

“Aku juga ikut.” Shera menguntit dari belakang.

“Aku di sini saja berjaga-jaga.” Ucap Boy saat Bimo memandangnya.

Beberapa menit berlalu karena ketiga orang itu bergilir untuk masuk ke kamar mandi. Boy masih terbayang pada Rani yang ada di teras, diraihnya jaket yang ada di kursi dan di bawanya ke teras. Hatinya tersayat melihat keadaan Rani. Ia menutup tubuh gadis itu dengan jaketnya. Sambil mencium tangan gadis itu ia menangis, kekasihnya meninggal apa yang harus dikatakan pada orang tua Rani nanti. Sungguh ia merasa bersalah.

Dada Bimo berdetak cepat saat tak di dapatinya Boy di ruang santai. Cowok itu b
berteriak panik. Dia mencari ke ruang tamu tapi tidak nampak . Akhirnya ia bernafas lega saat mendapati Boy di teras.

“Astaga, kau menakuti kami Boy. Bukankah sudah kubilang untuk tetap bersama. Mungkin saja si pembunuh itu masih ada di sini.” Ucap Bimo .

“Maaf. Aku hanya tidak tega membiarkan Rani kedinginan sendirian di sini.” Lalu keempatnya masuk kembali.

Waktu seakan begitu lamban berjalan. Boy yang mendapat giliran jaga melirik jam tangannya. Baru jam dua lewat, ia menggeliat sejenak meregangkan otot-ototnya. Ia ingin ke kamar mandi, tapi segan rasanya membangunkan Bimo atau yang lain untuk menemaninya. Lagipula sejak beberapa waktu yang lalu keadaan sepertinya mulai aman.

“AHHHHHHHHHHHHHH!” suara teriak membangunkan ketiga temannya.

“Boy!” Bimo segera berlari ke arah suara. Diikuti Sandra dan Shera.

Di depan kamar mandi, tubuh Boy terkapar dengan luka sayatan di tangan. Di perut bagian bawah juga terlihat sayatan yang memanjang .

“Kalian…kalian harus …” Hanya itu yang sempat diucapkan oleh Boy sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

“Sial! Kenapa kalau mau ke belakang nggak bilang. Sial! Kenapa begini jadinya.”Bimo mulai kesal.

Bimo menghempaskan badannya ke sofa dengan kesal. “Lebih baik kita pergi dari sini sekarang. “ Bimo memandang kedua gadis yang ketakutan itu.

“Aku sangat setuju, bukankah sejak semula aku telah mengatakan tempat ini tidak bagus untuk kita.” Sahut Sandra.

Tapi kunci mobil yang semula dipegang Boy entah ditaruh di mana olehnya. Bimo mengecek kantong baju dan celana Boy. Tidak ada. Mereka mencari ke mana-mana, tapi masih belum jumpa.

“Sial!benar-benar sial!” Bimo menyepakkan kakinya ke sofa. Dia benar-benar putus asa sekarang.

“Tak ada jalan lain, kita harus menghadapi pembunuh itu. Aku ingin melihat wajah penjagal keparat itu. Akan kuhabisi dia.” Bimo berjalan ke dapur kemudian memeriksa laci dapur. Dia mengambil dua buah pisau dapur yang berkilat.

“Sandra, periksalah kulkas apakah masih ada makanan atau minuman untuk kita.

“Bimo memerintah. Sandra mengambil tiga kaleng softdrink dan makanan ringan yang mereka bawa tadi dari dalam kulkas.

Wajah Sandra berubah pucat saat mereka kembali ke ruang santai. Minuman yang ada di tangannya terjatuh .

“Ada apa San?” tanya Shera.

“Lukisan itu…” Sandra mulai gemetar.

Bimo dan Shera mengamati lukisan di depan mereka. Ada tiga mayat yang terlihat di sana. Seorang cowok tergeletak di lantai dekat sofa dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya, kemudian seorang gadis tergeletak di sofa dengan mulut penuh busa. Sedang seorang lagi dengan leher hampir terputus tergeletak di meja bartender.

“Tadi tidak seperti itu.” Bimo memperhatikan sekali lagi dengan seksama.

“Kurasa rumah ini berhantu Bim.” Sandra mulai bergidik.

“Aku pikir juga begitu. Tadi lukisan ini tidak begini. Satu , dua,tiga,empat,lima,e…., lihat ada enam orang yang ada di dalam lukisan ini dan sudah tiga orang yang mati.”

Sandra memperhatikan. Tapi kembali ia bergidik takala dilihatnya lagi gadis bergaun merah itu di dalam lukisan.

“Dia, kurasa dia.”

“Sandra..siapa maksudmu?”

“Gadis bergaun merah itu.” Bimo memperhatikan gadis bergaun merah yang dimaksud Sandra. Tapi tidak terlihat.

“Tak ada gadis yang bergaun merah.” Ucap Bimo. Sandra kembali melihat, benar tak terlihat lagi.

“Kurasa kita semua menjadi incarannya.” Shera angkat bicara dengan gemetar. Bimo dan Sandra memandangnya.

“Bukankah kalian bilang, semula lukisan itu tidak begitu bukan? Kini terlihat ada tiga orang yang mati dan masih tampak tiga yang tersisa. Kita di sini ada enam orang dan telah meninggal tiga, jadi kita hanya menunggu giliran siapa berikutnya.” Shera memandang Bimo dan Sandra sambil menangis.

“Aku, aku ingin pulang. Kumohon, bawa aku pulang sekarang.” Shera menangis . Dia benar-benar takut. Pesta yang seharusnya untuk bersenang-senang malah membawa maut bagi mereka. Sungguh malam neraka bagi mereka semua.

“Kalian beristirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga.” Ucap Bimo sambil menenangkan kedua temannya. Mata Bimo sendiri sudah lelah. Begitu pun dengan badan dan pikirannya. Inginnya segera pagi dan pergi dari villa ini.

Bimo menoleh saat ia merasa sekelebat bayangan melintas di belakangnya. Tak ada siapa-siapa. Bimo mulai waspada dan mempertajam pendengaran dan penglihatannya.
Perlahan ia bangkit dari tempatnya. Memeriksa dan waspada dengan pisau di tangannya. Siapapun dan apapun itu ia sudah bertekat melawan.

Kembali sekelebat bayangan melintas , kali ini di teras depan. Bimo berlari ke depan. Sementara itu Shera terbangun karena terganggu oleh kaki Sandra yang menyepaknya. Sungguh lasak sekali Sandra.

Bimo, ke mana Bimo? Jantung Shera hampir berhenti berdetak. Shera memandang ke ruang tamu, matanya melihat sekelebat bayangan dari teras. Segera ia berlari ke luar. Tak ada siapa-siapa.

“Oh Shit! Aku terjebak olehnya.” Sesal Bimo saat kembali ke villa di dapatinya mayat Shera tergeletak dengan baju terkoyak seperti dicakar tak jauh dari tempat Rani. Bahu dan dadanya terkelupas dan seperti yang lain tangannya juga ada luka sayatan.

“Sandra, bangun. Kita harus pergi dari sini , Shera sudah meninggal.”

“Apa?” Rasa kantuknya langsung hilang mendengar ucapan Bimo.

“Tadi aku keluar sebentar untuk mengecek saat aku melihat sekelebat bayangan . Dan ketika aku kembali aku melihat mayat Shera di luar.”

Perlahan Sandra memutar kepalanya untuk melihat lukisan di belakangnya. Kali ini sudah empat mayat yang tergeletak. Ia semakin menggigil ketakutan.

“Tapi dengan apa kita akan pergi. Kunci mobil entah ke mana dan tempat ini sangat jauh.” Seluruh tubuhnya gemetar karena takut.

“Entahlah, pokoknya kita harus pergi dari sini .” Bimo menarik tangannya.

“Tapi…” Bimo ingat sesuatu. “Kurasa kita bisa menggunakan sepeda motor tua yang ada di garasi . “Ucapnya sambil buru-buru berjalan ke garasi. Sandra mengikuti dari belakang. Tak ada kunci pada motor tua itu. Tapi Bimo mencoba berbagai cara untuk menghidupinya.

“Berhasil,” keduanya berucap semangat. Akhirnya mereka dapat keluar dari villa menakutkan ini, pikir keduanya.

Sandra naik keboncengan Bimo. Segera cowok itu memacu motor tua yang dikendarainya. Tapi setelah berjalan beberapa lama…

“San, sadarkah kau kalau ada yang aneh di sini?” Bimo mulai ketakutan. Sandra memperhatikan sekelilingnya.

“Ya…kita..sudah berapa lama kita berjalan, tapi rasanya masih di tempat yang sama…”Sandra mulai menangis karena takut.

“Bim, apa yang harus kita lakukan?”

Kembali sekelebat bayangan melintas. Bimo mulai waspada kembali. Segera ia memacu motor tuanya. Tapi tak bisa melaju. Hanya bannya saja yang bergerak. Sandra memeluk Bimo erat.

Suara cekikikan menambah seram pagi yang gelap. Kelebat bayangan berbaju merah itu terbang ke sana kemari melintas di depan mereka.

“Aku tidak takut padamu,” tantang Bimo sambil memandang sekeliling.

“Bim,” Sandra cemas.

“Aku akan melawannya.” Ujar Bimo dengan tegas.

Kembali suara menyeramkan itu terdengar. Bimo mencoba untuk memacu motor tuanya dan berhasil. Tapi keduanya terpental ke tanah saat motor menabrak batu besar yang tidak terlihat oleh mereka.

“San, kau tak apa-apa?” Bimo menghampiri Sandra yang terhempas cukup kuat hingga gadis itu muntah darah.

“Tidak, aku hanya ingin pulang.” Susah payah Sandra berbicara. Ia tahu mereka tak akan menang melawan hantu wanita itu. Tapi ia ingin pulang.

“Dengar, aku tak tahu siapa kau. Tapi kami tak bermaksud mengganggumu. Jadi jangan ganggu kami lagi.” Teriak Bimo pada hantu bergaun merah itu.

Suara tawa terdengar, “Tapi aku suka mengganggu kalian. Aku akan menghabisi kalian semua.” Sahutnya kembali tertawa dengan suaranya yang bisa menaikkan bulu roma.

Bimo mencoba meraih motor tuanya yang tergeletak tak jauh darinya. Tapi saat ia naik ke motornya , motor itu melaju sendiri dengan cepatnya. Bimo yang tak mempersiapkan diri terhempas dengan badan terbanting ke pohon. Bagai ada yang mengendarai motor itu sekali lagi melaju kencang. Bimo yang masih kepayahan tak sempat menghindar saat motor tua itu menabraknya.

“Bim..Bimo..” kini tinggal Sandra yang terpaku di tempatnya, tak tahu kini bagaimana keadaan Bimo sekarang. Ia berusaha berdiri. Tapi suara tawa yang menyeramkan dan sekelebat bayangan itu kembali mengganggunya. Sandra berusaha melarikan diri. Susah payah dirinya berlari sambil sesekali memanggil nama Bimo.

“Ah,” Kaki Sandra kesandung dan ia terjatuh oleh sesuatu.

“Bimo….” Tubuh Bimo yang terkapar dengan luka di dada akibat tertusuk pedal motor tua , sedang bahu atasnya hampir putus akibat terpotong benda tajam. Sandra benar-benar tak kuat lagi. Dan tiba-tiba saja ia sudah pingsan karena tak tahan melihat mayat Bimo yang tergeletak mengenaskan di depannya. .

Ketika ia sadar, beberapa orang sudah mengelilinginya. Dan mayat Bimo mulai dievakuasi oleh orang-orang di sana.

“Bimo…Bimo….”Hanya itu yang bisa diucapkannya saat beberapa orang bertanya padanya. Mata gadis itu tampak kosong, ia seakan kehilangan seluruh kesadarannya. Polisi juga sudah datang di TKP, karena tidak ada ambulans Sandra di bawa ke puskesmas terdekat dengan mobil polisi untuk mendapatkan perawatan intensif.

Penduduk desa setempat sudah dapat menebak apa yang telah terjadi. Hantu gaun merah pasti kembali mengganggu penyewa villa terpencil itu lagi. Mereka juga tahu, hantu itu tidak sembarang mengganggu orang yang menyewa villa itu selain karena ia ingin memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat tidak senonoh di villa itu.

Sepuluh tahun yang lalu, gadis bergaun merah itu mengadakan pesta semalam suntuk untuk merayakan kelulusan bersama teman-teman SMU-nya. Dan beberapa teman cowoknya membawa minuman keras dan obat-obatan . Tapi sialnya tanpa sepengetahuan dirinya teman-temannya membubuhkan obat perangsang di minumannya. Hingga ia diperkosa oleh beberapa temannya secara bergilir. Saat tersadar semua teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sendiri. Dan di pagi itu, saat matahari baru beranjak dari ufuk timur di tengah penyesalan dan keputusasaannya, ia memutuskan untuk membunuh dirinya dengan pecahan kaca bekas gelas minumnya. Sejak itu pula setiap penyewa villa yang mengadakan pesta serupa pasti akan diganggu dan dibunuh olehnya.

DITERBITKAN OLEH : TRP - HARIAN ANALISA sebagai CERBUNG

PUISI

DI MANAKAH ASA

Mengapa bumi murung
dan langit menangis?
Adakah kesedihan
yang tak terbaca?

Ketika burung-burung
menyampaikan cerita duka
daun-daun enggan menyapa

Di manakah asa berkelana
Hingga warna dunia berubah



TENTANG ASA

Adalah kisah tentang asa
Yang enggan berkelana
Lelah menyampaikan tawa
Di wajah-wajah cinta

Ketika cinta semu bersemai
Di hati yang sepi
Kesunyian merayap memeluk gelap
Dingin sedingin musim berganti

Kubujuk harapan untuk tetap tinggal
Menyemai mimpi yang tak pasti
Melahirkan bulir-bulir doa yang terangkai
Semoga mimpi indah diwujudkanNya.


SEBUAH NAMA

Ingin kurenangi bening matamu
Meski pun seribu ombak menerpa
Dan aku terseret arus cinta

Biarkan kukulum bibir merahmu
Meneguk madu cinta yang kau ramu
Hingga aku mabuk dan terkapar dalam peluk mesra

Biarlah kutapaki gunung-gunungmu
dalam desah
sembari kusebut sebuah nama
Hanya namamu

TOK..TOK..TOK

Tok..tok..tok..
Harikah yang masih terlalu pagi
Atau malamkah yang terlalu panjang
Hingga tak kau buka pintu

Masihkah engkau di ranjang mimpi
Menari bersama asa
Ataukah kau masih di jalan
Mengais rejeki demi sesuap nasi

Aku kemari membawa kisah
yang kuharap bisa membuatmu tertawa
dan kita lalui waktu dengan secangkir kopi
sambil merajut mimpi

Jumat, 05 Februari 2010

PUISI

SENYUM YANG TERENGGUT

Mendung itu menyapu senyum
Merampas asa,
tinggalkan jejak-jejak luka

Awan menghitam
Menyisakan cerita tentang pagi
Dingin,
kelu bibir membiru

Menatap nanar mentari
Di antara bias malam yang tak bersisa,
kulihat bening yang belum mengering

PAGI KELABU

Sekali lagi Kau guncang kami dengan marahMu
Menyentakkan jiwa-jiwa tak berdaya
Merenggut senyum yang pernah ada
Bersama bumi kami terkapar pasrah

Kerut-kerut yang hadir lewat waktu
Jiwa-jiwa yang baru sejenak melihat dunia
Terampas dalam sekejap
Mengsirnakan titik-titik asa

Pagi itu Kau bawa pergi tawa
Lalu hadiahkan aku tangisan’
Inikah yang layak kuterima?


AKHIRNYA TERTUMPAH JUA

Si Pemberi jiwa merajuk
Ia marah karena kita melupakanNya
Raga-raga memeluk dunia,
jatuh cinta pada harta

Kita teguk keserakahan dengan nafsu,
lalu tersedak
dan tercekik oleh amarah

Akhirnya,
Satu yang layak kita terima.
MurkaNya…murka yang tersimpan sekian lama
Akhirnya kini tertumpah jua


KEMBALIKAN

Kembalikan hatiku
Kembalikan jiwaku
Kembalikan harapku
Kembalikan mimpiku

Yang telah kau bawa
Yang telah kau renggut
Yang telah kau ambil
Yang telah kau curi

Jangan biarkan aku
Tertatih dalam sepi
Pada gelap tak bertepi
Berikan aku meski hanya secuil mimpi

SENDIRI DALAM BADAI

Asa itu telah membiru
Beku…tanpa rasa
Membiarkan ranting
Memeluk dingin.

Tapak putih itu tinggalkan jejak
Bayang menghilang
Tanpa kata
Tinggal butiran bening tersisa

Dalam badai mencoba bertahan
Setapak, selangkah perlahan berjalan
Sunyi…
Hanya deru angin menemani


TERENGGUT KHATULISTIWA

Sudah menguapkah rasa itu ?
Menghilang bersama garis waktu
Tak menyisakan setitik asa
Oleh bilur-bilur aku terluka

Batas khatulistiwa merenggutmu dariku
Laut dan daratan seolah mengejekku

Kini kau milik mereka
Bersama hatiku kau persembahkan dirimu.

AKU MASIH DI SINI


Kau tuang janji di atas pena
Mengajakku ‘tuk langkah bersama
Di atas pasir putih
Sambil memandang birunya laut

Aku berdiri di sini
Menunggumu menuai janji
Senja kemerahan di garis laut
Perlahan menghilang tinggalkan kelam

Aku masih di sini
Ketika janji mengeliat
Kau masih belum terlihat
Tertutup malamkah?

Gelap terasa panjang
Pagi seolah enggan menjelang
Aku masih di sini
Bersama janji-janji yang pernah kau tuang

KEBENCIAN

Kau tusuk bulan dengan merah matamu
meliarkan roh-roh kebencian
Pada lorong-lorong waktu
kau biar dendam bercumbu

Kau hanguskan rasa
dengan luka
memutilasi kenangan
dengan rindu yang berubah nama


Published by TRP Harian Analisa

CHIKA TOMBOY - sebuah cerpen

CHIKA TOMBOY
by : Helmy Fenisia

Dua hari lagi Chika akan merayakan hut-nya yang ke – 17. Kali ini ulang tahun bungsu anak ketiga keluarga Nugraha seorang pengusaha hotel juga akan dirayakan secara besar-besaran seperti kedua kakaknya.
Tidak seperti kakak-kakaknya Cantika dan Chandra yang semangat menyambut pesta ultah mereka, sebaliknya Chika sering merengut. Membuat ketiga sahabatnya Andika, Yudha dan Ryan menggodanya. Pasalnya si tomboy ini dipaksa mamanya untuk mengenakan gaun dan sepatu hak tinggi di pesta ulang tahunnya. Padahal selain memakai rok seragam sekolah, ketiga sahabatnya tak pernah melihatnya memakai rok. Jadi lucu saja membayangkan gadis itu memakai gaun ditambah lagi sepatu hak tinggi.
Sejak seminggu lalu mama sudah menugaskan Cantika untuk menemani Chika mencari sepatu yang cocok untuk dirinya , tapi sudah tiga hari keluar masuk mall tak ada satupun sepatu hak tinggi yang dirasa cocok untuknya.Yang modelnya jeleklah, yang pasti nggak enak dipakailah, seperti sepatu tante-tantelah pokoknya di mata gadis itu tidak ada satu pun yang cocok. Padahal ia belum mencobanya, melihat modelnya saja dia sudah memberi komentar yang memanaskan kuping Cantika.
“Dasar ! kamu ini mau yang model gimana sih Chi, masa ratusan model bahkan mungkin sudah ribuan yang kita lihat nggak ada yang cocok sama kamu. Pakai dulu kek, mana tahu cantik di kaki kamu.” Kakaknya mulai sewot.
“Pokoknya Chika nggak suka sepatu hak tinggi!” Sahutnya.
“Kalau gitu kita cari yang nggak tinggi-tinggi amat. Sesuai selera kamu, tapi harus yang bisa matching sama gaun kamu yang sudah dipesan mama.” Kakaknya berkata. Akhirnya Chika mengalah. Tapi dasar tomboy, tinggi cuma tiga centi saja dia sudah malas mencobanya. Karena kesal Cantika memilih nyerah. Lebih baik mama saja yang menemaninya.
“Sudah dapat?” Mama langsung bertanya ketika melihat keduanya turun dari mobil.
“Belum tuh Ma, nggak tahu Chika mau yang gimana. Semuanya nggak ada yang cocok sama dia. Capek-capekin Tika aja.” Omel kakaknya.
“Ya sudah , nggak apa-apa. Tadi mama lihat di internet ada sepatu dari kristal yang bagus banget dan cocok sama gaun kamu, makanya nggak mikir dua kali mama langsung pesan. Papa juga suka kok sama modelnya. “ Mamanya berkata sambil mengelus rambut anak bungsunya.
“Mama…napa sih harus pake gaun dan sepatu hak tinggi?” Chika menatap mamanya dengan mata berkaca. Hampir menangis dia karena kesal tapi tidak berdaya melawan kehendak mamanya.
“Sayang, kamu ini seorang gadis. Masa kamu mau pakai jas dan sepatu papa?” Sindir kakaknya.
“Tika…” Mamanya menegur Cantika. “Chika sayang, apa yang dikatakan kakakmu memang benar. Kamu ini seorang gadis, anak pengusaha sukses lagi. Nggak ada salahnya kan sekali-sekali kamu pakai gaun. Apalagi di pesta ulang tahunmu sendiri. Masa kamu mau pakai baju T-shirt dan jeans di pesta ulang tahun kamu?”
“Biasanya kan juga gitu Mam, ayolah jangan paksa Chika.”
“Sayang, biasanya mama juga nggak ikut campur kamu ngerayakan dengan cara kamu sendiri, tapi kali ini mama sengaja membuat pesta sweet seventeen buat kamu di hotel papa. Ada tamu-tamu papa, teman-teman mama, juga teman-teman kamu. Masa sih kamu mau pakai pakaian yang biasa aja. Ayolah sayang, sekali ini senangkan mama dan juga teman-teman kamu. Mama juga yakin kalau mereka senang melihat kamu tampil beda.”Bujuk mamanya.
“Lagipula, mana tahu nanti ada yang terkesan sama penampilan kamu dan akhirnya jatuh cinta… “ mama memandangnya dengan senyum menggoda.
“Ah mama, itu sih bukan cinta beneran.” Sahutnya.
“ Ya sudah… Oh ya, gaun kamu sudah sampai tuh. Coba dulu sana.”
“Tika, bantu adikmu mengenakan gaunnya.”
“Ampun…masa Chika disuruh pakai gaun terbuka begini?” Gadis itu kembali hampir menangis. Padahal waktu dia dan mama datang ke perancang mode langganan mama Chika minta dibuatkan yang simple dan jangan terbuka.
“Kan bagus Chi, lagian nggak kebuka banget kok. Cuma belahan di dadanya aja yang sengaja dibuat agak turun. Mungkin karena dada kamu bagus jadi model belahan dada seperti ini lebih pas. Belakangnya sih memang terlalu terbuka. Tapi nggak papalah…kamu nggak panu-an kan?” Goda kakaknya.
“Iya tapi…” Chika hampir tak bisa berkata. Inginnya dia bisa menghilang dari bumi. Apa kata Andrian, Yudha dan Brian nanti?
“Sudahlah, aku yakin ketiga konco-koncomu juga bakal terpana lihat perubahan kamu.” Ucap kakaknya.
“Aku tanya mama dulu, kapan sepatu kamu bisa sampai. Kamu pasti butuh waktu buat ngelatih berjalan dengan sepatu hak tinggi. Makanya Nona, jangan beli sepatu kets melulu. Ntar dikira orang Aditya Nugraha menelantarkan anak bungsunya.”
“Chika mana Tante?” Suara Brian terdengar dari luar kamar. Langsung Chika mengunci pintu kamarnya dan menukar kembali pakaiannya dengan T-shirt yang tadi dipakainya.
“Lho kok?” kakaknya yang baru hendak mengetuk pintu kamarnya heran melihat Chika sudah mengganti pakaiannya.
“Aku turun dulu. Itu nanti saja.” Ucapnya pada kakaknya.
“Gimana? Sudah dapat belum sepatu hak tinggi lu. Gue pinjamkan aja punya mami gue. Pasti pas sama kaki lu.” Tanya Brian dengan nada menggoda.
“Ngejek nih? Ntar gue usir loh!”
“Bukan ngejek. Cuma mau bantu. Tapi pasti lucu ya, kalau Chika pakai gaun and sepatu hak tinggi.” Andrian ikut-ikutan.
“Sialan! Pulang sana, bukan bantuin nyari solusi, ngeledek aja kerjanya.” Gadis itu menimpuk keduanya dengan bantal di kursi sofanya.
“Ngomong-ngomong Yudha mana?”
“Tau tuh! Katanya suntuk lihat muka kamu cemberut melulu seminggu ini.” Jawab Andrian.
Dua hari latihan dengan sepatu tinggi membuat kaki Chika hampir lecet. Bahkan hampir terkilir karena dia tidak hati-hati. Padahal ia berharap kakinya akan terkilir dan butuh perawatan hingga pesta dibatalkan. Tapi dokter berkata tidak apa-apa. Hanya dipijat sedikit dan dioles salap akan sembuh.
Malam ini pesta akan dilaksanakan. Chika berharap akan ada Tsunami kedua. Tapi hanya dia saja yang boleh menjadi korban. Bagaimana kalau dia pura-pura sakit saja? Pikirnya.
“Ma, Chika lagi nggak enak badan nih. “ Gadis itu turun dari kamarnya dengan suara yang dibuat lemah.
“Kalau begitu, lebih baik kamu nggak masuk sekolah hari ini. Biar bisa istirahat, supaya acara nanti malam nggak terganggu. Mama panggilkan Om Bram dulu untuk memeriksa kamu ya.” Ucap mama.
“Ih Mama,” Chika menghentakkan kakinya kesal. “Kenapa sih yang di pikiran mama cuma pesta melulu.”
“Ya enggak sih Sayang, cuma undangannya kan sudah disebar. Tapi mama telepon Om Bram dulu deh.”
“Nggak perlu Ma. Ntar Chika makan obat generik aja.” Sahutnya sambil masuk ke kamar.

Malam telah tiba…….

“Sudah deh Chik, norak tahu ditutupin gitu!” Kakaknya berkata sambil menggeleng tak habis mengerti karena Chika selalu menutup dadanya dengan kedua tangannya.
“Nih , kalo malu pakai selempang ini aja. Begini nih, tapi jangan ditutup rapat gitu, kayak orang kampung aja.” Omel kakaknya.
“Nggak biasa tahu!” Chika balas mengomel.
“Makanya latihan mulai sekarang.” Cantika berkata sambil berjalan memanggil penata rias.
Cantika, bahkan Chika sendiri pangling dengan penampilan barunya. Setelah didandani Chika benar-benar beda. Papa dan mamanya pun tak kalah pangling dengan penampilannya yang tidak biasa ini.
“Wah, gadis dari mana ini, kenalan dong?” Goda Chandra kakak laki – lakinya. Membuat Chika tersipu.
“Gile Chi, kalo lu bukan adik gue, bakal gue tongkrongi terus nih.” Ucap Chandra.
“Udah, ntar terlalu dipuji luntur bedaknya.” Sahut Cantika. “Sekarang acara sudah boleh dimulai Mam. Chika sudah siap kok.” Perlahan Cantika membawa adiknya keluar dari salah satu kamar hotel milik ayahnya. Dengan susah payah ia membiasakan dirinya berjalan dengan sepatu hak tingginya.
“Ati-ati, awas ntar terkilir beneran.” Kakaknya mengingatkan.” Jalannya yang santai aja.”
Saat Chika tiba di ruang pesta semua mata memandang kagum padanya. Bryan, Andika bahkan Yudha hampir tak mengenalinya. Gadis itu terlihat sangat anggun dengan gaun pesta hitam yang dikenakannya. Rambutnya ditata dengan bagus sesuai dengan bentuk wajahnya yang oval. Make-upnya juga tidak terlalu tebal.
Chika benar-benar berubah menjadi gadis yang anggun dan dewasa. Tapi Yudha lebih suka dengan Chika yang biasanya. Meski kedua sahabatnya heboh dengan penampilan Chika yang berbeda hari ini.
Cowok itu juga bisa melihat kalau Chika tidak nyaman dengan penampilannya malam ini. Meski bibirnya menebar senyum , tapi dia dapat menangkap rona ketidak bahagiaannya di mata gadis itu. Bahkan Chika nyaris tidak beranjak dari tempatnya meski pun papanya mengajak gadis itu berdansa.
Saat acara sudah berjalan, Yudha mencari Chika yang tiba-tiba menghilang. Di belakang hotel Yudha melihat Chika duduk di samping kolam ikan ditemani sebuah lampu taman.
“Si tomboy yang berubah jadi putri.” Kalimat yang membuat Chika berpaling.
”Yudha, ngapain di sini?”
“Aku juga mau bertanya, kok yang punya acara malah ngacir. Kenapa nggak di dalam?”
“Malas! Kau tahu kan aku nggak suka pesta. Nggak suka berpenampilan begini.” Ucap Chika bersungut. “ Dan sepatu sialan ini telah membuat kakiku lecet.” Chika membuang sepatunya ke kolam.
“Hei, bagaimana nanti kalau kamu mau kembali ke dalam, telanjang kaki?” Yudha berjalan ke sisi kolam yang lain untuk mengambil sepatu Chika.
“Nih. Kalau mau bertindak harus mikir dulu!” Ucapnya pada gadis itu .
“Apa…apa aku benar-benar cantik malam ini?” Chika memberanikan diri bertanya pada Yudha. Cowok itu memandangnya lekat membuat gadis itu menunduk. Padahal sudah tiga tahun dia dan cowok itu bersahabat. Tapi rasanya berduaan begini baru kali ini.
“Kau ingin aku jujur?” Yudha bertanya.
“Ya.”
“Malam ini kamu benar-benar cantik.” Ucap Yudha.
“Tapi malam ini aku tidak melihat Chika yang ceria, Chika yang penuh semangat. Chika yang sekarang aku lihat sangat lain. Dan kalau boleh jujur, aku lebih suka Chika yang biasanya.” Yudha berkata.
“Ya…” Chika berkata sambil menghembuskan nafas berat.” Jujur saja aku juga merasa kalau hari ini aku telah berubah menjadi orang lain. Meski orang-orang memuji tapi aku tidak bisa menikmati setiap pujian bahkan semakin tersiksa. “
“Tapi sekali-sekali nggak salah kok menyenangkan orang tua. Betul kan?” Yudha berkata sambil tersenyum. “Ayolah, jangan cemberut terus. Sepatu ini ..pakailah beberapa menit lagi. Setelah itu buanglah, atau berikan pada orang lain.”
“Sekarang kita harus masuk sebelum keluargamu bingung mencarimu. “
“Trims, You’re my best friend.” Chika berkata sambil berdiri dan memakai sepatunya. Tapi baru beberapa langkah dia beranjak..
“Eh Chika…pulang nanti..bolehkah aku mengantarmu?” Yudha berkata sambil memasukkan tangannya ke saku celana. Berusaha menghilangkan salah tingkahnya.
Chika memandang Yudha dengan wajah bersemu merah. Tapi tak lama kemudian mata bulatnya mengerjap nakal.
“Bagaimana kalau sekarang?”
“Tapi pestamu?”
“Biarin aja.”
“Tapi Chika…” Gadis itu menarik tangannya. Dilepaskannya sepatu kristalnya dan melemparkannya ke kolam yang lebih besar . Keduanya berlari sambil tertawa bahagia. Chika tak peduli pada sepatu kristal hak tingginya, pada kemarahan mamanya, keheranan kakaknya atau teman-temannya. Awal pesta sudah dia jalani, biarlah mereka yang mengakhirnya. Chika hanya ingin mendapat kebahagiaan. Kebahagiaan yang hanya dimengerti olehnya. Selamat tinggal sepatu hak tinggi, selamat tinggal pesta mewah, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, teriaknya senang.

Kamis, 04 Februari 2010

hari ini saya lagi bete

beteeeeeeeeeeeeeee habis