Kamis, 11 Februari 2010

SAAT BINAR BINTANG MENGHILANG

SAAT BINAR BINTANG MENGHILANG

HELMY FENISIA

Siang makin tak bersahabat, perutku pun mulai keroncongan. Aku paling benci tugas di proyek seperti sekarang ini, di tempat yang lumayan jauh dari kantorku. Selain panas, aku sering terpaksa membiarkan cacing-cacing di perutku mengamuk. Tugas sebagai teknikal manager dan pengawas lapangan sering membuatku kesulitan dan pusing mencari makan siang. Mau kembali ke rumah, tantu saja tak mungkin mengingat jaraknya yang berkilo-kilo dari tempat tugasku. Ke restoran dekat tempat kerjaku? Bah, bisa bangkrut aku. Apalagi ini akhir bulan. Seharusnya uang di kantongku cukup untuk beberap hari lagi, bisa-bisa ludes dalam sekejap. Lebih baik kuhabiskan bensin mobilku untuk mencari warung terdekat. Aku tak mau terpaksa menguras uang di atm, aku harus rajin menabung untuk masa depan keluargaku. Anak buahku sih enak, mereka bawa bekal dari rumah. Sedang istriku, juga bekerja.

Akhirnya dapat juga warung makanan. Setelah hampir setengah jam aku mencari, senyumku dalam hati. Lumayan ramai warung nasi ini. Selain berada di pusat kota, tempatnya pun lumayan nyaman. Terletak di pinggir jalan, di bawah sebuah pohon besar nan rindang.

“Nasi satu Bu. Pakai sambal ikan.” Aku memesan sepiring nasi berikut lauk ikan. Kemudian berjalan mengambil tempat duduk.

Tak berapa lama, seorang bocah perempuan dengan pakaian kumal muncul dengan kerincingan di tangannya. Dia bernyanyi dari meja yang satu ke meja yang lainnya. Ada beberapa pengunjung memberi sekedar padanya. Mungkin kasihan. Mungkin untuk menghargai suara dan usahanya. Ada juga yang tak peduli. Anehnya, tidak ada kecewa yang terbias di wajah cemongnya meski tak dihargai. Ia berpindah ke meja lain. Tersenyum sebentar lalu mulai bernyanyi.

Bocah perempuan itu berteriak kegirangan saat sepasang muda-mudi memberinya selembar sepuluh ribuan. Aku melihat binar bintang di matanya. Tangan hitamnya yang penuh daki melipat dengan hati-hati lembaran ungu itu. Aku yakin ,seumur-umur baru kali ini ada orang yang memberinya demikian banyak.

“Terima kasih Mas, terima kasih Mbak.”Ucapnya sekali lagi sebelum ia berlalu menuju meja lainnya.

“Sama-sama.” Sahut kedua muda-mudi itu.

Bersamaan dengan datangnya pesananku, bocah itu menghampiriku. Bintang di matanya masih belum hilang.

“Permisi Mas..” Dia berkata sebelum menyuarakan lagu pilihannya untukku.

“Maaf Dik, aku tidak suka mendengarkan lagu saat sedang makan.” Ucapku. Sekejap binar bintang itu meredup.

“Tapi aku suka bila ada yang mengajakku ngobrol saat aku makan.” Sambungku.

“Ngobrollah denganku. Aku akan membayar suaramu. Sama kan?” Bintang itu kembali berbinar.

“Sudah makan?” tanyaku ketika kupersilahkan dia duduk di depanku. Pemilik binar bintang itu diam. Mungkin segan untuk menjawab. Aku yakin, perutnya masih belum terisi siang ini. Aku menghargai keseganannya. Setidaknya, aku menilai dia bukan orang yang suka mengambil kesempatan.

“Pesanlah apa yang kau suka.” Aku berkata kepadanya.

“Tidak Kak.” Tolaknya.

“Sudahlah, tak usah sungkan. Aku yang akan membayar, meski aku tahu kau sedang banyak uang sekarang.”

Pemilik binar bintang itu tersenyum. Dia tahu aku bercanda padanya. Aku memesan sepiring nasi lengkap dengan lauk dan segelas es teh untuknya.

“Siapa namamu?”

“Ratih Kak. Kakak siapa?” Dia balik bertanya.

“Oh, aku Rafa. Lengkapnya Rafael.”

“Masih sekolah?” Ratih, bocah itu mengangguk.

“Kelas tiga SD.”

“Bagus kalau begitu.”

“Apa kamu ngamen setiap hari?” aku bertanya sambil mengunyah makananku. Ratih menggangguk.

“Iya. Habisnya, bapak sudah meninggal. Di rumah tinggal ibu dan dua adik Ratih yang masih kecil,” ceritanya.

“Makanya Ratih harus ngamen buat bayar uang sekolah dan bantu ibu yang cuma bekerja sebagai pembantu.”

“Tapi setahuku, ada mafia yang menaungi kalian. Maksudku, aku pernah mendengar kalau anak-anak jalanan seperti kalian ada yang mengatur. Lalu mengambil hasil jerih payah kalian.”

“Iya. Untungnya Ratih tidak pernah bertemu mereka. Kalau pun harus bertemu dengan orang-orang seperti itu, maka akan Ratih lawan. Enak saja, masa Ratih yang kerja susah payah mereka yang menikmati hasil.”

“Benar kau berani?” Aku menatapnya.

“Tentu saja. Kata bu guru, kita harus mempertahankan hak kita. Kalau kita benar, jangan pernah takut . Selain itu , kewajiban juga tidak boleh dilupakan.” Ucap Ratih serius.

Sepertinya dia anak yang cerdas.

“Kau ranking berapa di sekolah?”

“Ya alhamdulilah Kak, Ratih tiga besar di sekolah. Makanya, bu guru memberikan buku dan seragam sekolah gratis.” Dia tersenyum. Ada bangga yang kubaca di wajahnya.

“Biasanya kau ngamen di mana saja?”

“Kalau jam segini, Ratih ngamen di warung ini. Soalnya kan banyak pengunjungnya. Selain itu, di lampu merah. Di dekat bundaran sana.” Dia menunjuk dengan dagunya bundaran yang tak jauh dari warung ini.

“Tapi kau harus hati-hati. Kau tahu kan bahaya kalau berada di jalanan. “ Aku menasehatinya.

Setelah kami selesai makan, aku membayar semuanya. Lalu menyelipkan beberapa ribu ke tangannya.

“Tidak usahlah Kak. Kan sudah ditraktir makan.” Dia memandangku.

“Kau kan juga sudah menemaniku.” Aku tersenyum.

“Terima kasih Kak.” Mata bintangnya berbinar.

Hari-hari selanjutnya, ketika aku masih harus bertugas di proyek, aku kembali makan di warung itu. Bercengkrama dengan pemilik binar bintang sambil mendengarnya berceloteh tentang sekolah, teman-teman dan keluarganya. Jujur saja, aku tidak tahu mengapa aku senang ngobrol dan memandang binar matanya.

Ratih juga sempat bercerita kalau kemarin dia diminta gurunya untuk ikut lomba nyanyi mewakili sekolahnya bulan depan.

“Baguslah, mana tahu kau bisa menang. Hadiahnya pasti lumayan.” Kataku.

“Kalau menang, aku akan traktir Kak Rafael.”

“Yang benar? Kakak tunggu ya, makanya kamu harus rajin latihan.”

“Tapi Kak Rafael tidak mau mendengar suara Ratih. Apa suara Ratih jelek ya Kak?” tanyanya.

“Tidak. Hanya kakak memang tidak suka diganggu dengan suara nyanyian kalau kakak sedang makan. Kalau makan sambil ngobrol, lebih asyik,” sahutku.

Ini hari keempat kami bertemu. Seperti biasa aku memintanya menemaniku makan sambil ngobrol. Ratih menolak untuk makan siang. Katanya masih kenyang. Aku tak melihat binar bintang di matanya. Binar itu seolah menghilang.

“Ratih , ada apa? Kok lesu, tadi ulangan gagal ya?” aku menggodanya. Aku tahu, bocah tegar in tak akan gagal menghadapi ulangan mengingat dirinya yang ulet. Lagipula, dia bertekad akan selalu menjadi juara kelas demi meringankan beban ibunya.

Ratih menggeleng. Aku melihat memar di wajah kirinya.

“Ratih, kenapa kamu, apa kamu jatuh?” aku memandangnya khawatir sambil memeriksa wajahnya.

“Tadi Ratih bertemu Joni. Kepala preman di bawah jembatan dekat bundaran itu. Katanya mulai hari ini , sebelum pulang Ratih harus setor dulu.”

“Apa kamu tidak melawannya?”

“Sudah, bahkan Ratih gigit tangannya saat tangan Ratih dicekal, tapi Joni kan besar. Dia menampar Ratih. Kalau Ratih tidak setor sejumlah uang yang dia minta, Ratih akan dibunuh.” Bocah itu tertunduk sedih.

Aku benar-benar terenyuh. Aku memeluknya, tak peduli bajuku kotor oleh daki dan debu yang menempel di badannya. Juga pandangan heran orang-orang di sekitar kami.

“Ya sudahlah. Nanti kalau kamu pualng, cari jalan lain saja. Jangan lewat sana. Kalau dia macam-macam lagi, baru kita lapor polisi.” Aku menenangkannya.

Joni brengsek! Aku tidak rela kalau binar di mata Ratih hilang karena dia. Manusia sampah itu harus dienyahkan!

Hari ini waktunya gajian. Aku ke kantor untuk urusan administrasi anak buahku di proyek. Aku yakin, tanpa pengawasanku pun mereka akan bekerja dengan baik. Aku kembali ke proyek sore harinya untuk membagi gaji anak buahku. Besok hari libur, begitu pula dengan lusa. Aku ingin menghabiskannya di rumah bersama Ayesha, isriku tercinta.

Aku dan Ayesha menikah tiga tahun yang lalu. Sampai kini, kami masih belum dikaruniai momongan. Kata orang, mengadopsi anak bisa menjadi pilihan sebagai pemancing agar istri bisa mengandung. Setengah percaya, setengah tidak.

Tiba-tiba aku teringat Ratih. Mungkin aku bisa mengadopsinya sebagai anak atau mengangkatnya sebagai anak asuh. Kupikir kedua hal itu sama saja. Ketika kuutarakan keinginan itu, istriku setuju . Lagipula hampir setiap hari dia mendengar ceritaku tentang Ratih.

“Aku setuju saja Mas. Kapan kita bisa bertemu dengan dia dan keluarganya?” Ayesha sepertinya tak sabar.

“Lihat lusa saja. Aku bicara dulu dengannya apakah dia setuju. Aku harap dia
setuju, apalagi sekarang ada Joni. Aku takut terjadi apa-apa padanya.”Ucapku.

“Ya, lebih cepat lebih baik Mas. Aku juga ingin melihat binar bintang di matanya.” Aku tersenyum memeluk istriku.

Aku mampir di warung Bu Nunik, tempat biasa aku dan Ratih menikmati makan siang sambil ngobrol. Hingga pukul dua belas tiga puluh, Ratih belum juga terlihat. Aneh!

“Bu, lihat Ratih tidak hari ini?” Aku bertanya pada pemilik warung yang sudah mengenal kami.

“Tidak Nak Rafa, ibu juga heran. Tumben hari ini Ratih belum tampak jam segini. Biasanya, jam sebelasan sudah ada.”

Aku menghela nafas panjang. Mendadak aku cemas akan keadaannya.

“Bu, kemarin Ratih datang tidak?”

“Oh, ada.”

“Tapi beberapa hari ini Ratih sepertinya kurang ceria. Sepertinya dia gelisah.” Kisah Bu Nunik.

“Apa terjadi sesuatu ya, Bu?”

“Ya, emboh ya ,Nak. Ibu juga tidak sempat tanya.”

Akhirnya aku kembali ke tempat tugasku. Sesampainya di rumah istriku menyambutku dengan pertanyaan akan persetujuan Ratih.

“Bagaimana Mas, Ratihnya sudah ditanya belum?”

“Belum. Hari ini tidak bertemu dia.”

“Lho..kok?”

Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Jantungku seolah berhenti berdetak ketika mataku menangkap tulisan besar di Koran kriminal yang belum sempat kubaca sejak tadi pagi.

RATIH, PENGAMEN CILIK DEMI MEMPERTAHANKAN HAK TEWAS DIANIAYA

Segera kuraih Koran itu dan kulihat foto Ratih yang terkapar tak berdaya. Binar bintang itu telah meredup. Bahkan menghilang dan pergi untuk selamanya.

“Mas,” panggil istriku saat aku terpekur dengan koran di tanganku.

“Ratih Sa, dia…” aku tak bisa melanjutkan kalimatku. Ayesha meraih koran di tanganku. Istriku belum tahu sebab dia tidak suka membaca berita kriminal.

“Ya Tuhan, kasihan dia.” Ayesha bergumam.

“Aku..aku tak dapat lagi melihat binar matanya , Sa. Aku tak sempat memintanya memanggilku ayah.” Ucapku lirih.

Istriku memelukku. Dia tahu, antara aku dan Ratih telah mempunyai ikatan kuat. Aku sendiri tidak tahu harus menamai apa rasa itu. Aku sayang dia, kagum akan keuletan dan kegigihannya dalam menjalankan hidup.Aku selalu ingin melihat binar bintang di matanya, tapi binar itu telah menghilang sebelum aku sempat melindunginya. Maafkan aku Ratih…


Terbit : Analisa, Rabu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar