Selasa, 09 Februari 2010

SURAT UNTUK BILLY

By : Helmy Fenisia


Dear Billy,


Fajar menyingsing dan senja pun datang. Silih berganti menemani kita. Tak terasa waktu berputar dan hari pun berganti. Dua belas tahun kita mengenal. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Kupikir,tahun-tahun yang panjang itu dapat membuatku mengenalmu lebih dalam lagi. Kubagi semua rahasia hidupku. Bahkan rahasia hati ini dan kau pun tak pernah ragu membagi dukamu. Lalu kita tertawa bersama, ketika bahagiaku dan bahagiamu melanda.

Kugiring waktu untuk melupakan masa lalu, membuang cinta pertama yang gagal. Mengulurkan tangan menyambut mimpi baru yang kau beri. Rasanya aneh, karena harus mengubah persahabatan menjadi sesuatu yang lebih. Begitu pun, harus kuakui kalau mimpi yang kau tawarkan menggangguku. Aku tak ingin terpuruk pada masa lalu.

Kau bahagia, saat aku mengatakan aku menerima dirimu. Lalu kau ajak aku membangun mimpi dengan warna-warni pelangi. Mimpi itu kita isi dengan harap. Menyemai cinta di halaman hati kita.

Kau membuatku bahagia, terbang tinggi di cakrawala biru. Mimpi kita pun semakin indah. Cintamu begitu sempurna bagiku. Hingga membuatku lupa akan kisah sedihku yang lalu.

Janjimu, kau tak akan membuatku terluka. Tak akan meninggalkan aku seperti yang dilakukan papa dan aku percaya. Bagiku, kau adalah sahabat, kekasih dan pengganti sosok papa yang kurindu. Darimu, kutemukan banyak pelajaran tentang hidup. Tentang perjuangan, dan
“Menikahlah denganku.” Satu kalimat yang seumur hidup baru kudengar dari bibir pria yang kucinta. Darimu, Billy. Aku harus menjawab apa? Dalam bingung kau kembali bertanya.

“Jujur, aku tak tahu harus menjawab apa. “ Ujarku waktu itu. “Aku belum siap.”

“Tapi kau harus siap, karena hanya kau yang kuingin dalam hidupku.” Wajahku memerah . Hanya menunduk diam. Berusaha mengurai rasa yang ada di hati.

“Kirana, menikahlah denganku.” Sekali lagi kau mendesakku. “Dulu, aku pernah mengatakan tak percaya cinta sejati, tapi aku mendapatkan cinta itu darimu. Bahkan lebih dari yang pernah kupikirkan.”

Benarkah? Aku tak percaya, tapi kutemukan kejujuran dari nada bicaramu. Bagaimanakah aku dapat menolak, aku juga mencintaimu. Bahkan lebih dari yang pernah kurasakan.

Waktu itu, lima tahun yang lalu. Kita lalui waktu dengan bunga-bunga. Tiga tahun. Lalu semuanya berubah dengan tiba-tiba. Ketika kau kembali ke negaramu Philipina, kau bawa serta mimpimu, tapi kau tinggalkan aku sendiri dalam sepi dan tak pasti. Berakhir sudahkah cerita?

Kau semakin menjauh dariku. Bahkan seolah tak peduli. Hingga aku lelah menanti. Kukuatkan diriku menghadapi semua yang mungkin terjadi, tapi kau beri aku harap. Menyisakan secuil mimpi. Kau hadir dan pergi dari hidupku, seperti hembusan angin.

Kau bilang, letih sudah kau membangun mimpi, karena kita hidup di dunia nyata. Tak ada daya untuk membuatnya sempurna. Billy, pernahkah aku menuntutmu membuat mimpi itu sempurna? Aku hanya butuh dirimu. Butuh hadirmu, namun itu pun tak sanggup kau lakukan untukku. Lalu ke mana janjimu? Kini, kau pun seperti papa. Menjauh dan akhirnya meninggalkan aku.

Dua tahun ini, kau tak lagi sama. Bahkan kita seperti dua orang asing yang baru kenal. Ke manakah Billy yang pernah membangunkan mimpi-mimpi untukku? Ke manakah Billy yang menemaniku kala sedih dan sepiku? Ke manakah Billy, yang padanya kudendangkan tawa dan berbagi canda?

Kau memintaku untuk melupakanmu, kau bilang tak bisa membuatku bahagia. Semudah itukah cinta menyerah? Semudah itukah menghapus kisah?

“Maafkan aku menghancurkan mimpi yang pernah kita bangun bersama, tapi aku tak dapat lagi kembali ke negaramu. Aku tak memiliki apa pun lagi di sini. ” Hanya itukah yang mampu kau katakan? Apa yang pernah kutuntut untuk kau beri untukku?

“Aku menyayangimu. Merindukanmu, namun aku telah kehilangan segalanya. Sudah tiga kali dalam dua tahun ini Mama terserang stroke dan bolak – balik di rawat di rumah sakit . Aku dan saudara-saudaraku telah menghabiskan banyak dana untuk itu. “ Hanya itukah alasannya?

“Kirana, carilah seseorang yang lebih baik dariku. Aku tak mampu membahagiakanmu. Aku kalah, dan aku tak mau membawamu dalam kekalahanku dalam hidup ini. Sejujurnya, aku tak pernah merasa bahagia seumur hidupku. Sampai aku bertemu kamu. “

“Lalu, mengapa harus memintaku berpaling? “ desakku dalam tangis.
“Karena aku tak ingin membuatmu menunggu dalam kesia-siaan. “ Hanya itukah alasanmu?

Beberapa hari yang lalu, aku dikejutkan sebuah surat elektronik yang kau kirim untukku. Sejak mengenalmu, hanya ada dua email yang kau kirim. Ucapmu di sana, kau memohon maaf untuk mimpi yang terenggut oleh waktu. Cinta, mimpi dan harap yang pernah ada dalam kisah kita merupakan suatu keajaiban yang pernah kau rasa. Tapi mimpi itu terenggut oleh waktu, oleh jarak dan oleh keadaan. Penyakit mamamu yang tak kunjung sembuh, tapi kehadiran seorang Ivy mampu mengusir galau hatimu kala kau lihat mamamu yang tak berdaya di ruang berwarna putih itu.

Billy, akhirnya kau akui kalau kau tak mampu mempertahankan sunyi hatimu. Selama dua belas tahun, tidak cukupkah aku memenuhi ruang hatimu? Hingga kau merasa kosong saat aku jauh? Aku harus bilang apa kalau kau tergoda. Aku, ternyata belum mengenalmu menyeluruh. Hingga aku tak mampu mengerti sunyi hatimu. Aku tak bisa menempati penuh ruang hatimu. Ataukah memang telah kau tinggalkan bayangku hingga ada ruang yang kau sediakan bagi yang lain?

Kini harus kuakui kalau ternyata aku tidak terlalu mengenalmu. Begitu banyak hal yang kau simpan sejak kembali ke negaramu. Ketika kau merasa aku siap, kau beritahu kalau kau dan Ivy kini telah menjadi satu daging. Billy, masih adakah kejutan-kejutan lain yang lebih menyakitkan dari ini? Mengapa kau katakan padaku, kalau kau tahu itu menyakitiku. Bukankah lebih baik kalau kau menghilang dari hidupku seperti komitmen kita dulu ketika kau memintaku mencari pengganti dirimu.

Billy, sejujurnya aku ingin membencimu karena cinta yang terenggut oleh waktu. Pengkhianatan yang melukaiku. Kau biarkan aku terhempas dalam mimpi yang kau bangun. Membiarkan aku terkubur dalam kuntum-kuntum bunga yang layu. Sedang di sana, kau tengah melukis mimpi lain untuk seorang yang lebih dekat denganmu.

Harusnya aku juga membenci Ivy, yang merebutmu dari sisiku, tapi bukan salahnya dia ada untukmu. Kau yang terlalu lemah. Dalam kesunyian tak bisa kau pertahankan bayangku. Hingga kau biarkan aku pergi dan kau beri ruang baginya. Cinta yang dulu kau beri hanya untukku kini telah kau ambil kembali. Billy, kau tahu betapa aku ingin membencimu? tapi kenangan dan cinta mengalahkan semua. Kini aku kembali terluka oleh kenangan. Bagaimana lagi ‘kan kutata keping hatiku?

Terbit : Analisa, Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar